Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2013
Senja menulis kenanganku di atas meganya. Yang lambat laun tenggelam oleh pekatnya malam. Dan lantunan lagu itu terdengar, Dalam kesunyianku yang mulai menghilang. Dulunya mentari itu hanyalah ilusi Yang berharap esok akan menyinari. Namun waktu tak mengijinkannya. Hingga rembulan datang dengan sejuta bintangnya. Langit kelam menghalau segala cahaya. Saat kutapaki jalan kesedihan itu. Lalu aku menerpa segala awan kelabu itu, Saat ia datang dengan senyum tulusnya. Dia waktu, kenangan, dan ilusi. Walau panasnya musim dan dinginnya luka masih ada dalam hidupnya. Aku yang tau seminya bunga Dan gugurnya daun kering, Menunggu. Dalam dinginnya es yang turun. Dan hangatnya sinar mentari saat engkau telah pergi. Jauh aku menunggu Dengan setiap angin dalan jedanya. Membuatku harus bersimpuh Menatap luka dalam yang kian membasah.

Kenangan

Hadirnya bagaikan kenangan lalu yang kembali terungkit oleh waktu Hadirnya bagaikan angin yang kembali berhembus setelah menghilang Hadirnya bagaikan kobaran api yang kembali bangkit setelah lama meredup        Saat hembusan angin yang datang bersama dedaunan itu, aku menutup kedua mataku. Seolah angin itu membawa sejuta kenangan indah yang telah lama menghilang. Daun – daun itu menepi, memperlihatkanku tentang waktu lalu yang kembali terungkit. Bersama dengan itu, aku mendengar bisikan angin yang melenakan itu. Menyuruhku untuk terus saja mengenang kenangan, Walaupun kobaran api nestapa masih membesar. Dan dia menuntunku untuk melihat tetes demi tetes air bening, yang setiap tetesnya memberiku keteduhan yang telah lama meredup. Lalu debu yang tertiup oleh angin waktu, membaku kembali pada kenangan lalu. Begitu pula nyanyian dedaunan pohon yang membawakanku elegi masa lalu. Dan kini, aku terkekang oleh kenangan waktu yang begitu kejam untuk kuhadapi.