Cerpen





Ia Kembali



         
“Kamu... benar – benar menungguku.” Ucapnya. Namun aku hanya menunduk.
          “Oh, tentang itu...”
          “Sekarang, semuanya sudah berubah ya?” celotehnya. Lalu menghela nafasnya tanpa sadar.
“Maksudmu?” tanyaku.
“Ya, semuanya berubah. Aku, kamu, waktu, dan... cinta ini.” Aku tersentak. Lalu tersenyum dan kembali menunduk, setelah sepasang tangan kokoh meremas tanganku hangat.
“Cinta ini? cinta yang mana maksudmu?” Tanyaku sedikit memberanikan diri. Walaupun ada sebilah pisau yang tak terlihat menghunus perasaanku. Sakit.
“Cinta yang kupendam jauh sebelum aku menyadarinya.”
“Menyadari apa? Bahkan kamu tidak tau apa itu cinta.” Aku tersenyum ironi. Miris merasakan apa yang kurasakan saat ini. Membohongi hati kecil yang berteriak agar tidak lagi mengatakan kebohongan.
“Aku....”
“Kamu apa? Kamu Cuma tau gimana ngerasain cintanya, tapi kamu gak ngerasain kesakitannya.” Ia menatapku. Dan tatapan itu, tatapan saat ini aku sayangi penuh dengan luka. Kelam. Itu yang kulihat.
“Saat ini Key... sakit yang menjalar di sini.” Ia menempelkan tanganku di dada kirinya. Yang kurasakan hanya detak jantungnya. Cepat. Sama seperti yang kurasakan setiap saat bersamanya. Tapi ini, hanya untuk waktu yang sementara. Yang aku yakini esok tidak akan pernah berdetak seperti ini lagi.
“Sakit karena kamu membohongiku.” Desahnya seiring dengan tanganku yang kembali diremasnya.
“Bohong apa? Bukankah aku menepati janjiku untuk menunggumu? Bohong akan apa?”
“Perasaanmu.”
Aku diam tak berkutik. Perkataannya seolah langsung menembus jantungku. Mungkin waktu ini ingin sekali aku nenghentikannya. Saat ini, bersamanya walaupun perasaanku menangis karena kebohongan ini. perasaanku. Perasaan yang masih aku simpan untuknya. Selalu. Hingga waktu yang aku lalui penuh dengan kesendirian. Dan karenanyalah aku menyimpan semua lukaku. Luka yang ditorehkannya dan yang membuatku menitikkan air mata karena mengingat luka lama.
“Kamu diam, berati aku benar.” Ia menyadarkan lamunanku.
“Kamu tau Key, aku juga tersakiti, bukan hanya kamu. Saat ini, luka in masih tertoreh. Bahkan lebih dalam dari yang aku duga. Karena rasa bersalah ini, rasa rindu ini, aku hanya bisa berharap kini waktu berpihak padaku untuk meminta maaf padamu. Cuma itu.”
“Tapi waktu kini bersamaku. Bukan bersamamu.”
“Maksudmu, kamu menolak untuk memafkanku?”
Ia tersenyum. Terlalu miris untuk melihatnya. Aku menunduk, dan setetes air mata mengiringi detik yang berlalu, seiring dengan sebuah dekapan hangatnya yang menyerubungi seluruh tubuhku. Aku terbelalak. Dekapan ini, dekapan yang bukan untukku, bukan untukku. Dekapan ini untuk orang lain. Tapi kenapa saat ini begitu terasa nyata? Aku berharap ini sebuah mimpi, karena aku takut, saat dekapannya tak lagi untukku, akan menambah luka milikku.
“Apa kamu begitu membenciku? Hingga kamu enggan menerima maafku? Aku tau, aku tidak berhak mendapatkan maafmu. Tapi, aku hanya ingin kamu tau bahwa aku mencintaimu. Hanya itu.”
“Aku bukan siapa – siapa Dan, aku ilusi.”
“Kamu nyata. Bagiku kamu nyata.”
“Aku... gak bisa.”
Dengan cepat aku melepaskan dekapannya. Dengan berat hati pula aku berlari. Lari secepat mungkin. Jauh darinya, itu yang terpenting. Aku tidak sanggup melihatnya lagi. Hanya akan menambah derita yang akan menjerumuskanku kembali.
Sebuah tangan kokoh kembali menyambar lenganku. Dan dengan sekali gerakan cepat, aku kembali berada dalam pelukannya. Erat. Hingga aku kesulitan bernafas.
“Dan, lepasin. Kamu ingin aku kekurangan oksigen?” ia tak menjawab.
“Aku begitu merindukanmu.”
Aku menghentikan berontakanku. “Dunia ini luas Dan, banyak orang yang ingin kamu rindukan. Tapi kenapa aku? Aku Cuma cewek biasa.” Ujarku.
“Benar, kamu cewek biasa. Cewek biasa yang aku cintai. Aku tidak peduli orang menginginkan rasa rindu dariku. Tapi kini yang aku rindukan Cuma kamu.” Aku terhenyak. Lalu tersenyum penuh ironi.
“Pikirmu, aku percaya? Lepaskan aku!” Sinisku lagi. Aku mendorongnya. Ia melepaskan pelukannya dan mundur beberapa langkah. Wajahnya menunduk.
Mungkin hanya alam yang tau akan hal ini. ia menunduk, seolah dapat menghapus jejaknya yang telah membuat luka lama di jalan ini. aku hanya melihat, tak dapat melakukan apapun. Aku hanya ingin lari dari kenyataan. Itu saja. Juga kenyataan bahwa aku bertemu dengannya disini. Oleh waktu yang mempertemukan aku dengannya disini. Kenyataan bahwa ini benar – benar dia. Melihatnya di depan mataku.
“Semuanya benar – benar telah berlalu sekarang....” Lirihnya disertai desahan panjang.
“Aku kembali karenamu. Dan sepertinya kehadiranku disini tidak diharapkan.”
“Benar, kehadiranmu tidak diharapkan disini.” Aku berusaha menahan air mata yang hendak jatuh dalam mataku. Mungkin dengan perkataanku yang terakhir itu, ia akan pergi, menghilang seperti dulu. Dan aku harus menyimpan luka lama itu lagi. Bahkan sekarang, aku mulai terjatuh kembali dari masa lalu.
“Baiklah kalau aku tidak diharapkan. Tapi aku akan menanyakan satu hal padamu, dan kamu harus menjawabnya dengan jujur. Setelah itu aku akan pergi jauh dan tidak akan pernah hadir lagi di hadapanmu!”
Aku menengadah. Menatap matanya yang juga tengah menatapku. Entah bola mata hitam kelam itu dikelubungi luka atau apa aku tidak tau, yang jelas seolah ada kesedihan yang menetap disana. Ia tersenyum samar, sinis.
“Kenapa kamu masih menungguku kalau hadirku disini tidak diharapkan?” Tanyanya menyindir.
Aku terhenyak. Apa yang harus kujawab. Mengatakan kalau aku masih menginginkan untuk bertemu dengannya, mengharapkan ia akan kembali dengan senyumnya yang membawakan luka untukku. Dan hingga saat ini, aku masih menyukainya. Munafik! Aku orang yang munafik, aku mengingkari perasaanku sendiri hanya karena aku ditinggalnya selama tiga tahun tanpa kabar, dan membuatku hidup dengan kekelaman hidup tanpa sahabat.
“Key....”
Ia menyadarkanku. Ia mendekat, hanya berjarak dua langkah dari aku berdiri. Tanpa seijinku, ia mengulurkan tangannya. Mengusap bulir – bulir air mata yang pada akhirnya jatuh juga. Di pipiku. Ia masih tersenyum. Seolah senyuman itu dapat menenangkanku dari tangisan tanpa akhir ini.
“Aku tau Key, kamu terluka gara – gara aku. Dan kamu mengingkari perasaanmu sendiri. Benar kan?” Tanyanya lembut. Aku hanya diam. Dan membiarkan detik – detik berlalu dengan sendirinya.
“Munafik.” Lirihku. Aku tersenyum ironi. “Aku munafik kan Dan?”
Ia mengelus ujung kepalaku. “Itu yang aku harapkan.” Ia kembali menarikku dalam pelukannya. Entah ini nyata atau tidak, aku hanya diam, membiarkan waktu terus menyiksaku kalau ini adalah nyata. Dan aku harus menelan pahitnya hidup setelahnya jika aku tau, ia akan pergi lagi.
“Kamu akan pergi lagi?” Tanyaku.
“Entahlah.... selama kamu tidak pergi, aku tidak akan pergi.”
“Aku tetap disini.”
Ia melepas pelukannya. Menatapku dengan senyumnya yang aku sukai. Sekarang, detik ini, aku masih menyukainya. Masih sama seperti dulu. Tiga tahun lalu, Keyra yang menangis karena kepergiannya, Keira yang menunggu dan dipenuhi luka. Dan Keyra yang tersenyum saat ini, menangis karena bahagia. Bahagia karena ia telah kembali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Tanpamu

Cerpen