Cerpen



Senja Kala Hujan.

Angin itu berhembus pelan. Menerbangkan daun daun kering yang akan jatuh dari tangkainya. Meninmbulkan bunyi gemerisik pelan. Angin itu seperti ingin berlari untuk mengantarkan sang senja. Di ufuk barat, sang senja masih tersenyum seraya seperti berkata, ‘aku akan pergi saat ini, dan besok aku akan datang kembali. Sebentar lagi masih ada bulan yang akan menemanimu’.
Senja itu masih tersenyum, secerah fajar yang baru menyingsing. Dengan semangat yang ia pegang teguh, ia tetap tersenyum walau gumpalan awan hitam mengancamnya untuk berhenti memancarkan sinarnya sebentar.
Hari ini, senja masih tetap seperti biasanya. Tersenyum seraya mengucapkan selamat tinggal seperti sebelumnya. Sinar orange itu seperti warna keemasan, dengan keungu – unguan yang kontras dengan  warna langit yang biru. Di ufuk senja itu, ada sekian cahaya yang tak terbilang banyaknya. Di ufuk senja itu juga, beribu – ribu energi yang sangat banyak untuk ia sebarkan di esok hari. Dan di ufuk senja itulah, kenangan itu masih teringat dengan jelas akan waktu yang lalu.
Aku disini, menatapi sang senja yang masih tersenyum akan luka lamaku. Aku berdiri di pinggir jalan raya sore yang cukup tenang. Di pinggir jalan itulah sawah – sawah terbentang luas. Aku menatap ke arah timur, masih dengan bias – bias kenangan yang tak mungkin ku lupakan. Jauh di sana, ada sepasang tower listrik yang berdiri kokoh, bak seorang penjaga yang menjaga sebuah wilayah.
Di salah satu tower itu, tepatnya di bawah kakinya dan di sekitar ia berdiri, pernah aku merajut perasaanku di sana. Dengan seorang pemuda berwajah secerah senja itu. Kini ia tak lagi ku temui. Di mana ia sekarang, aku tidak tau. Pernah aku berharap ia akan menungguku di bawah tower itu dengan sesungging senyuman terbaiknya. Sekarangpun, harapan itu mungkin masih tetap ada. Tapi aku telah melupakannya.
Senja itu masih tersenyum. Tak peduli hatiku terkoyak – koyak dan teriris tanpa mengenal lelah. Senja yang tersenyum itu masih tetap membawaku ke alam dunia yang lalu.
“Hey Dan, piket dong! Dari tadi pagi kamu gak piket. Fantian, udah capek nih!” Ucapku waktu itu, disaat penghujung istirahat ke dua. Aku memukul bahunya agak keras. Ia berusaha menghindar, tapi pukulanku mengenainya. Kelakuan yang masih seperti anak kecil ini.
Ia tertawa seraya menatapku. Tapi aku memilih untuk menjauhinya untuk melanjutkan piketku yang masih belum kelar. Aku menyapu kelas dengan perasaan jengkel. Didukung dengan ruang kelas terasa lenggang, tanpa seorang anak pun. Yang ada hanya aku dan angin yang berasal dari kipas di atas langit – langit kelas.
Pintu kelas terbuka, sedikit demi sedikit sesosok tubuh muncul dari belakang pintu. Astaga, itu Danar! Ia tersenyum ke arahku seraya berjalan melewatiku.
Senyap menghinggap di sini. Tak ada suara. Hanyalah alunan sapu yang bergerak menyapu lantai.
“Key, kalau lo udah capek. Istirahat gih sana!” Ia mulai membuka suara.
“Gak usah! Bentar lagi juga udah kelar!” Sahutku.
Diam kembali merayap. Mungkin cuaca sedang tidak mendukung untuk menghidupkan kembali suasana.
“By the way Key, lo nanti liat kan final basket besok?”
“Tentu. Kan juga untuk sekolah kita!”
“Bagus deh kalau gitu.” Bagus? Bagus apanya? Entahlah. Aku lebih peduli pada ayunan sapu yang kembali mengeluarkan suara. Entah pula, apa yang dilakukan Danar. Sepertinya ia telah selesai. Tapi selesai apa? Ia bahkan tidak bersuara sedari tadi. Mungkin hanya percakapan singkat yang tidak penting tadi itu. Ah! Kenapa malah berfikir seperti itu? Lebih baik menyelesaikan piket ini dan keluar dari kelas sunyi ini dengan segera.
“Danar, kamu udah selesai? Perasaan kamu gak ngapa – ngapain deh!” Ucapku kesal. Tak ada sahutan. Dengan kesal aku membalikkan badan untuk melihat Danar. Dan, astaga...
Danar berada persis di depanku. Hanya berjarak satu meter dari aku berdiri. Aku mundur satu langkah, ia juga maju satu langkah. Aku merasakan takut yang menjalar sangat cepat. Entah mengapa angin yang ditiupkan oleh kipas terasa seperti menusuk ke dalam kulitku.
Ia semakin mendekat. Aku berusaha untuk menghindarinya. Tapi lututku seolah dibebani bokahan es yang amat besar. Aku mendongak. Kulihat wajahnya yang tanpa ekspresi.
“Cuma ada kita berdua di kelas ini!” Ucapnya seakan membelah udara.
“Elo....” Ia mendekatkan wajahnya. Matanya yang kelam terlihat jelas sekali. Aku menahan nafas.
“Lo... mau apa?” Tanyaku ragu.
“Awww....” Sebuah cubitan keras menarik ujung hidungku. Cukup membuatku berteriak.
“Liat tuh, sampahnya masih banyak di belakang elo! Malah ketakutan gitu... emangnya ada hantu?” Ia tersenyu jahil melihatku yang sedang memegang hidungku.
“Sakit tau!” Protesku.
“Makanya, piket yang bener!” Ia mengepalkan tinju dan menyentuh kepalaku pelan.
“Kamu tuh yang gak ngelakuin apa – apa dari tadi!”
Aku memegang sapu dan hendak memukulnya. Tapi ia keburu lari keluar kelas. Sebelum benar – benar keluar kelas, Danar sempat menjulurkan lidahnya untuk mengejek.
*****
            “Keira, udah apa belum dandannya? Lama amat sih?” Suara cempreng Cicil bagai petir di telingaku. Dengan cepat aku menguncir rambutku. Dan bergegas turun agar Cicil tidak mengganggu tetengga karena teriakannya.
            “Ok! Udah siap nih!” Senyumku mengembang. Cicil hanya berdecak pelan.
            “Udah, ayo cepetan. Udah mulai dari tadi nih!” Cicil menarik tanganku untuk segera bergegas menuju lapangan basket di sekolah kami.
            Dua puluh menit kemudian, kami sampai. Maklum, jarak rumahku menuju sekolah cukup jauh.
Saat memasuki gerbang sekolah, lapangan telah riuh dengan sorakan – sorakan para siswa – siswi dan anggota cheerladers memenuhi seantero lapangan. Aku dan Cicil bergabung dengan pendukung sekolah kami sendiri.
“Tuh kan, tinggal sepuluh menit lagi! Kamu sih, kelamaan dandannya!” Gerutu Cicil padaku.
“Tadi kan hujan. So, itu bukan sepenuhnya salahku!” Belaku lalu beranjak pergi. Menghindar dari ocehannya yang masih berkepanjangan.
Aku berjalan menuju bawah pohon beringin besar. Duduk di sana, di sebuah bangku yang selalu ada di sana. Aku membuka novel kesayangannku.
Sore masih merayap perlahan. Angin tetap menyapa walaupun hujan telah berhenti. Sorak – sorai siswi – siswi masih berbaur dengan bisikan angin.
*****
Hujan kembali merebak. Melewati semua yang dilewatinya.
“Key, aku pulang dulu ya.... soalnya aku udah ditunggu sama Ari. Sori ya....” Maafnya padaku.
“Gak papa. Aku bisa pulang sendiri bentar lagi. Mungkin Mang Paijo masih di jalan. Udah gih, sana! Kasian tuh Ari kehujanan.” Aku melirik Ari yang tengah duduk di motornya. Menunggu.
“Sorry ya! Janji deh, besok aku traktiran baksao.”
“Udah sana!” Cicil memelukku, lalu berlari menerobos hujan menuju Ari yang tengah menunggunya. Aku melambaikan tanganku seraya tersenyum.
Vixion merah itu berjalan lalu menerobos hujan. Angin masih tetap bertiup. Menyisakan kedinginan yang mengiringiku. Tiba – tiba sebuah motor sama berhenti di depanku. Aku menatapnya. Seorang cowok memakai baju serba hitam. Ia membuka penutup wajah yang ada di helmnya. Menatapku.
“Kok elo belum pulang?” Tanyanya.
“Hujan” Sahutku.
“Hujan air aja takut!”
“Biarin.”
“Dasar manja.”
“Terserahku, apa masalahmu?”
“Masalah gue? Masalah gue sekarang...” Ia berhenti. Menatapku dingin dan tersenyum sinis. Ia turun dari motornya dan berjalan ke arahku.
Tepat saat ia berdiri di sampingku, ia membuka helmna dan mengibas – ngibaskan rambutnya. Pemandangan yang sungguh tak tertebak.
Apa ini? desiran halus merasuki relung hatiku. Waktu bagai melebur menjadi satu. Seolah semuanya tertumpu pada satu titik. Satu titik yang saat ini tertumpu padanya. Ruang hati yang telah terisi oleh namanya. Dalam sekejap, aku sadar. Aku masih berdiri di atas tanah. Masih menyayanginya. Dari dulu, hingga kini. Mecintainya dari waktu ke waktu. Hingga detik ini.
Aku tersadar. Aku memalingkanwajahku.
“Masalahnya... gue takut lo kenapa – napa.” Ia membuka pembicaraan. Tersenyum simpul dan menatapku.
“Aku nggak papa. Kenapa harus khawatir?”
“Cuma takut aja. Masalahnya, kenapa ya, gue selalu khawatirin elo?”
“Kamu ngefans ke aku mungkin...” Ucapku setengah bercanda. Aku tersenyum jail.
“Bukan ngefans, tapi...” Ia berkata serius.
“Tapi apa?” aku mulai penasaran. Jantungku sudah tak tau seperti apa denyutnya.
“Dasar kepo. Mau tau aja lo!” Ia tertawa.
“Dingin ya?” Ia merentangkan tangannya. Dalam sekejab, tangannya merangkul pundakku.
“Apaan sih?” Aku berusaha untuk melepaskan rangkulannya. Tapi nihil. Tangan itu begitu kokoh.
“Lo tau, gue tadi nunggu lo. Gue berharap tadi lo akan nyemangatin gue. Tapi dengan kedatangan lo aja gue udah seneng. Tadinya gue sempet ragu kalau lo datang. Tapi saat lo datang, gue jadi lebih semangat. Mungkin kalau lo gak datang, sekolah kita gak bakal menang!”
“Mana ada karena aku datang sekolah kita menang?” Aku tersenyum simpul.
“Karena lo penyemangat gue....” Katanya datar.
“Memangnya aku cheerlader tim basket? Bukan kan?”
“Memang lo bukan anggota sih... tapi lo penyemangat di hati gue....”
“C’mon Danar, ini bukan waktunya bergombal – gombal ria....”
“Gue serius Key.” Aku tertawa pelan. “Aduh, ribet ya ngomong sama lo. Muter – muter kayak benang kusut.”
“Ok. Aku minta maaf. Cuma bercanda, peace!” Kuangkat kedua jari telunjuk dan jari tengahku membuat huruf ‘V’.
“Gue maafin. Gini deh, dengerin apa yang mau gue katakan!” Ia menatapku. Akupun mengangguk.
“Basket adalah hidup gue. Sejak kecil gue paling suka olahraga basket. Saat pertama kali gue kenal lo, gue benci banget sama lo. Tapi itu dulu, saat gue tau lo menyayangi semuanya, menolong sesama, gue jadi tertarik. Lo bertolak belakang dengan gue. Gue yang dulunya....”
“Stop – stop. To the point aja deh. Pusing nih!”
“Ok... gini ... gue sayang sama lo. Sayangg.... banget...” waktu seakan berhenti saat Danar mengatakannya. Aku terdiam.
“Gue gak pernah minta jawaban dari elo. Gue juga gak harapin jawaban dari lo. Gue Cuma ingin lo tau perasaan gue. Itu aja.”
“Tapi gimana kalau aku jawab iya!” Tukasku cepat. Ia menatapku. Entah tatapan yang ia miliki. Yang sekarang menatapku dengan tatapan tak percaya.
“Key, ini sungguhan?”
“Bukan! Ini mimpi. Ya iyalah kenyataan.” Jantungku tak dapat ku dengar lagi. Entah seperti apa detaknya. Aku tidak tau, yang aku tau, di sanalah namanya tertulis. Di ujung hatiku.
“Thaks Keira.. i ... love you...” Ia tersenyum tulus dan menggenggam tanganku erat. Kubalas perkataannya.
“Love you too...”
Kami berdua tersenyum. Kemudian menengadah meneteap langit yang telah berganti warna keperakan sang senja di ufuk barat. Gumpalan awan itu menepi, seperti sedang mempersilahkan senja menyapa kami yang tengah bertautan tangan di bawah sebuah tower. Tepatnya di bawah teras rumah yang tertutup. Kami menatap senja itu dengan tatapan kagum.
Tinn.... tinnn.... tinnn.....
Suara klakson mobil dan motor saling sahut menyahut. Menyadarkanku akan kenangan yang terungkap lagi. Aku kembali menapaki bumi dan menatap senja itu. Biasan cahayanya terpancar dari waktu ke waktu. Menyisakan goresan luka itu dalam sudut hatiku di sebelah namanya.
Ah, iya! Danar pergi entah kemana setelah kelulusan SMA itu. Ada yang mengatakan ia pindah ke kota lain untuk kuliah. Entahlah, dia ada sini atau dimanapun aku tidak tau. Dan tidak akan mengubah kenyataan bahwa ia hanya meninggalkan luka. Yang aku tau, luka dua tahun ini masih memerah, belum cukup untuk membuat luka itu kering. Mungkin aku akan bertemu dengannya lagi. Suatu hari nanti. Di senja lain di suatu tempat entah dimana. Yang aku tau, aku masih tetap disini. Menunggunya untuk kembali. Menunggu pejelasan atas kehilangannya tanpa penjelasan itu. Walaupun lukaku tak akan sembuh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Tanpamu