Cerpen



Spirit of Scout
 


Sore mulai menghilang. Diganti dengan awan – awan kelabu yang telah menutupi hampir seluruh langit malam. Mendung mulai menyeruak sedari sore tadi. Menghantui seluruh anggota perkemahan yang tengah dilaksanakan di sebuah lapangan.
Semua anggota perkemahan yang terdiri dari anak esempe berjalan hilir mudik kesana kemari. Entah apa yang dilakukan. Mungkin sedang melaksanakan kegiatan mereka masing – masing dalam jam bebas. Saat sore masih menjelang. Semuanya melakukan aktifitasnya dengan ringan, tanpa beban. Yang menjadi beban kali ini adalah kegiatan yang akan dilakukan esok hari. Tak tau bahwa langit yang telah menggelayut dengan mendung.
Dan semuanya baru menyadari setelah sore telah berganti malam. Semuanya hendak melakukan sholat maghrib berjamaah setelah adzan maghrib berkumandang. Semuanya berkumpul. Dan aku, aku yang baru selesai mandi dari kamar mandi orang langsung berlari ke arah tenda sekolah kami. Aku bersama Erin, berlari dengan tergesa. Dan itu, tenda kami telah terlihat, tampak kokoh walaupun kami yang membuatnya bersama.
Segera aku dan Erin mengambil mukenah dan langsung menuju sholat berjamaah itu, walaupun kami berdua sudah sholat di mushalla. Kami tak menghiraukan teriakan para anggota regu yang tidak mengikuti sholat berjamaah.
“Ayo mbak, udah telat nih...” ujar Erin. Aku mengangguk dan langsung menghamparkan sajadah milikku di rumput untuk diduduki kami berdua.
“Rin, kita kan udah sholat!” ujarku.
“Biar sudah... yang penting kita di sini...”
“Tapi katanya lima orang aja. Anak – anak juga di tenda Cuma tiga orang.”
“Gak papa. Biar nilainya ditambahi...” aku hanya mengangguk membenarkan. Tak memperdulikan sang imam yang tengah membaca dzikir.
“Vivi udah berangkat ya?” tanyaku.
“Iya mungkin, soalnya aku tadi gak ngeliat dia di tenda.” Lagi – lagi aku  mengangguk.
Sang imam tengah membacakan do’a saat kami asyik berbincang. Kami mengikuti alur do’anya. Menengadahkan tangan, meminta pada sang penguasa.
“.... Ya Allah, kami mohon malam ini, malam ini kami berkumpul.... agar engkau tidak menurunkan hujan malam ini... kami mohon Ya Allah....” ucap sang imam yang menggema di seluruh lapangan.
Baru beberapa detik sang imam mengatakan hal itu, suara bergemuruh mulai mengerubungi semuanya ditambah dengan air hujan yang seperti tumpah dari arah langit. Kami berdua berlari menuju tenda. Tak hanya kami berdua, seluruh anggota perkemahan berlarian ke sana kemari menuju tenda masing – masing. Seperti sebuah semut yang berlarian mencari tempat berlindung.
Hujan masih menyeruak saat aku dan semua anggota regu berkumpul di tenda. Kecuali Vivi yang berada si masjid untuk mengikuti lomba mengaji.
“Hujannya deras...” seru seseorang.
“Tendanya nanti akan basah kalau gini terus...” ujar Lala, ketua regu.
“Terpal yang dibawa kemarin yang ada di tenda barang cepet keluarin.” Titah Kak Ira, pembina kami.
Semuanya mengangguk. Termasuk aku. Buru – buru aku mengeluarkan mantel yang telah kusiapkan untuk kemah ini. segera memakainya dan berlari menuju tenda barang yang ada di belakang tenda utama.
Aku, Lala, Dina, dan Mawar segera mengeluarkan terpal biru mulik Dina. Berat memang, namun kami dengn sekuat tenaga melebarkan terpal yang terlipat itu. Mengangkatnya menuju belakang tenda utama.
“Tendanya di tutupi dengan terpal itu...” ujar Kak Ira lagi.
Tanpa banya mengomel, kami melakukannya. Terpal biru berat yang tadi sore masih duduk manis di tenda barang, kini telah terpasang sedikit demi sedikit di atas tenda. Sekuat tenaga kami mengangkatnya, dibantu dengan beberapa anggota lainnya. Sedangkan yang lain yang itdak membantu, mereka buru – buru memasukkan alat dapur yang masih berada di luar.
“Eh... tabung gasnya gimana?” tanya Melli.
“Tabung gasnya copot, taruh di dalem tenda sama barang – barang yang lain.” Teriak Lala.
“Langsung sama kompornya aja.” Dina turut berucap.
Melli mengambil tabung gas bersama kompornya. Kompor yang hanya satu itu dengan tabung gas seberat dua setengah kilo itu berhasil diangkatnya dengan susah payah.
Aku masih fokus pada terpal yang tak kunjung terpasang ini.
“Din, itu angkat ke atas dong...” tegur Lala.
“Iya iya... berat nih...” aku tak kalah kesalnya.
“Dina, tarik ke sana....” ucapku pada Dina.
Dina menarik terpal itu dengan sekuat tenaga. Dan tak berpa lama kemudian, kami telah memasangkan terpal itu denan sempurna. Kami langsung menuju dalam tenda setelah melepaskan mantel kami yang basah.
“Udah di masukkan semuanya?” tanya Kak Ira.
“Udah Kak!” seru Erin.
“Kak Ira mau ke tenda cowo’an dulu ya... takut anak cowok kebasahan semua...” Kami mengangguk.
“iya kak!” sahut yang lainnya.
Seiring dengan kepergian Kak Ira, anggota regu putri malah mendekam di dalam tenda walaupun tenda penuh sesak dengan barang – barang. Hujan masih berlangsung beserta angin yang bertiup cukup kencang.
“Gimana nih... hujannya deras, bentar lagi kan lomba yel – yel.” Seru Indah.
“Yo gak tau... masa panitia nyuruh kita buat lomba sambil hujan – hujanan?” bukannya menjawab, Lala malah memprotes.
“Eh.... gapura... gapuranya....” seru Dita yang berada di samping pintu masuk tenda.
Semua anggota menatap gapura yang mulai bergoyang. Gapura yang awalnya kokoh itu kini melambai – lambai seperti pohon kelapa.
Aku, Lala, Mawar, dan Dina sebisa mungkin untuk segera memperbaiki gapura yang terbuat dari bambu itu. Memberdirikannya lagi agar tak sampai roboh.
Walaupun tantangan Hujan dan angin yang derasa masih berlaku, kami tetap bermain dengan air hujan tanpa peduli. Yang diperdulikan hanyalah gapura yang masih belum kembali ke keadaan semula. Gapura itu tetap miring ke kanan, hingga lama kelamaan, gapura itu dengan sempurna roboh ke arah tenda utama. Lala mencoba untuk mengembalikan gapura itu bersama Mawar, satu kelemahan gapura yang cepat roboh itu, bagian pangkal gapura tak diganjal oleh batu. Hanya tanah. Dan air hujan sedikit demi sedikit mengikis tanah itu.
“E.... cari batu.” Teriak Lala bersaing dengan suara hujan. Dina mengangguk. Ia mencari ke sama kemari. Sedangkan aku dan Lala memegangi gapura yang telah berdiri dengan sanggahan kami.
“Gak ada Mil!” ujar Dina.
Tentunya kami panik. Namun tak lama, Kak Jupri, pembina regu cowok datang ke tenda kami dengan seorang cowok. Entah itu siapa. Yang jelas, Kak Jupri dan cowok itu membantu mendirikan gapura yang telah berdiri tidak sempurna.
“Tenda cowo’an basah semua... airnya menuhin seluruh tenda.” Ujar Kak Ira yang juga sudah datang.
“Beh... gimana terus anak cowo’annya?” sela Melli.
“Yah gitu, bajunya basah semua.”
“Di tasnya juga?”
“Iya, semuanya... baju gantinya juga.”
“Be roh... kasian...”
Aku mengangguk. Kamipun juga sama sebenarnya. Namun lebih sengsaraan anak cowok. Sudah tenda basah, baju pramuka yang dikenakan basah, baju ganti basah pula.
“Gak papa ngungsi katanya panitianya...” seru Kak Jupri.
“Iya.. semua anak cowok sudah ngungsi...” sela Kak Ira.
“Tapi baju gantinya...” Jasmin turut mengikuti.
“Cewek’an mau ngungsi juga kak Jup?”
“Iya, biar nanti ada yang ngungsi, trus ada yang di sini.”
“Tapi sapaan yang disini?”
“Biar aku dah, Mawar, Dina, Indah, sama Vivi kalau udah datang.” Lala berucap.
“Aku juga ikut!” Jasmin sedikit berteriak.
“Tapi kamu katanya pusing.... kamu ikut aja sudah...”
“Gak, pokoknya aku disini!”
“Kamu besok gimana yang mau lomba ha?”
“Pokoknya aku disini.” Jasmin tetap bersikeras.
“Aku juga di sini!” ujarku setelah sekian lama terdiam sambil menahan dingin.
“Kamu juga ngungsi, kamu katanya juga pusing.”
“Aku disini!”
“Kamu ngungsi aja, Kita masih buth kamu besok...”
Aku hanya diam pasrah. Aku memang kedinginan, gara – gara kehujanan tadi sewaktu membenarkan gapura yang roboh. Aku memang memakai mantel, tapi mantelnya tidak bekerja dengan baik.
“Mbak Din, aku netep baju pramuka yang basah ini ya...” ucap Mawar.
“Kita juga.”
Indah, Dina, dan Jasmin mengulurkan satu tas kresek baju pramuka mereka yang basah. Untuk dijemur sementara agar tidak cukup basah esok pagi. Aku mengangguk. Langsung aku memasukkannya dalam tas yang hendak aku bawa.
Aku, Dita, Lia, Erin, dan Melli juga Kak Jupri menerobos hujan yang telah reda. Berjalan menuju jalan raya dan menuju perumahan penduduk. Menuju rumah salah satu temanku yang bersekolah di esempe yang sama.
Setelah diperbolehkan memasuki rumah dan setelah menjemur baju – baju yang basah itu, kami tertidur. Atau hanya aku saja yang tertidur. Aku tidak tau. Aku hanya berharap esok hujan tak lagi menghantui kami saat kami melakukan perkemahan di lapangan. Aku hanya berharap, semuanya akan berakhir dengan perkiraan kami.
*****
Mentari mulai memancarkan sinarnya cerah. Tetes – tetes air masih memenuhi seantero lapangan yang tengah melakukan aktifitas perkemahan. Semua sudah beraktifitas seperti kemarin. Namun memang ada yang berbeda, pekerjaan yang piket dalam tenda menjadi dua kali lipat daripada kemarin.
Namun itu tak menyurutkan semangat kami semua. Setelah semuanya kembali fit, kami berkumpul di depan tenda putri. Plus dengan cowok’an. Seragam kami memang basah, namun semangat kami pagi ini membakar seluruh tulang kami.
“Basah semua bajunya...” gerutu seseorang.
“Biar basah, yang penting kita fokus pada lomba bentar lagi...”
“Yo’i.”
Lala mengulurkan sebelah tangannya. Ia tersenyum. Satu persatu semua anggota regu putri maupun putra mengulurkan tangannya. Senyumnya kembali merekah.
“ARPRAJA... BRAVO... BRAVO... YES....” seru kami kompak.
Aku turut tersenyum. Semangat kami masih ada walaupun sempat luntur semalam. Namun tak kenal cuaca atau apapun, pramuka tetaplah selalu siap sedia.
Walaupun hujan dan angin melanda, keputus asaan hampir bangkit, semangat masih ada walaupun tersembunyi di balik keraguan.
Kami memang melanggar aturan dengan berkumpulnya regu putra dan regu putri. Tapi entah, kenapa kami begitu nekad untuk berkumpul bersama. Saling memotovasi untuk tidak menyerah. Lagipula, kejadian hanyalah tantangan dari alam untuk tetap bersemangat. Bersama, kami mengeluarkan semangat kami, berjuang di medan laga walau pada akhirnya kami kalah. Berusaha sekuat tenaga lebih dulu, lalu memetik hasilnya kemudian walaupun kalah. Lagipula... kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda bukan. Dan di perkemahan yang akan datang, kami akan merebut piala bergilir itu walau sulit. Semangat, berusaha dan tak menyerah, juga tak kenal lelah, itu yang kami punya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Tanpamu

Cerpen